12 Oktober, 2008

Mencari Jejak Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai

BERWISATA ke Aceh? Mungkin di saat situasi keamanan yang tidak menentu, tawaran ini menjadi tidak menarik. Namun, jika sekali waktu ada kesempatan menginjak Bumi Serambi Mekkah, situs Samudera Pasai yang terletak di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera Geudong, sekitar 20 kilometer dari Lhok Seumawe, ibu kota Aceh Utara, bisa menjadi alternatif.

IBNU Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.

Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.

Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.

Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai. Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera Pasai.

Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.

Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297-1326 M ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya, ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama.

Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.

Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.

Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.

Impor dan ekspor

Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.

Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.

Situs Kerajaan Islam Samudera Pasai ini sempat sangat terkenal di tahun 1980-an, sebelum konflik di Aceh semakin memanas dan menyurutkan para peziarah. Menurut Yakub, juru kunci makam Sultan Malikussaleh, nama besar sang sultan turut mengundang rasa keingintahuan para peziarah dari Malaysia, India, sampai Pakistan. "Negara-negara itu dulunya menjalin hubungan dagang dengan Pasai," tutur Yakub.

Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan keturunannya di makam raja-raja itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peninggalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat.

Makam Sultan Malikussaleh berada di mulut pintu masuk ke cagar budaya Samudera Pasai.

Sekitar setengah kilometer dari makam itu ada lokasi yang dulunya istana Kerajaan Pasai. Sayang sekali, wujud fisik bangunan yang berada persis di bibir pantai Lhok Seumawe itu tak lagi bisa dinikmati.

Kawasan itu sudah beralih fungsi menjadi lahan pertambakan. Menurut Yakub, bangunan istana kesultanan sebagian besar terdiri atas kayu. Bekas-bekas fondasi dari batu bata merah masih terlihat di atas tanah tempat berdirinya kerajaan.

Di atas tanah seluas lebih dari lima hektar itu, aura kebesaran kerajaan masih sangat terasa.

Di lokasi itu juga terdapat makam Peut Ploh Peut (44), ulama yang meninggal karena dieksekusi Raja Bakoi, salah satu raja di Pasai. Raja menganggap ke-44 ulama itu sebagai lawan politiknya dan memerintahkan agar mereka dibunuh. Akibat tindakannya yang sewenang-wenang, rakyat menjuluki dia Raja Bakoi, yang menurut masyarakat setempat berarti pelit.

Perjalanan berakhir di kompleks makam Ratu Nahrisyah. Di situs ini ada sebuah sumur tua yang menurut kepercayaan warga dasarnya berhubungan langsung dengan laut. Mereka mengatakan, pernah ada warga yang tak sengaja menjatuhkan timba ke dalam sumur itu dan menemukannya di pinggir pantai. "Sumur ini tak pernah kering, bahkan di musim kemarau sekalipun saat sumur kami sudah kelihatan dasarnya, sumur ini tetap saja penuh," kata Azwan, warga Kampung Kuta Krueng.

Makam sang ratu dan suaminya terbuat dari marmer dengan ukiran bermotif flora. Marmer-marmer mewah berwarna coklat susu itu didatangkan khusus dari Gujarat untuk menghias tempat peristirahatan terakhir sang ratu. "Makam ini bisa dibongkar pasang, seperti lembaran papan yang bisa disusun ulang," ucap Yakub. (DOTY DAMAYANTI/Kompas) Sabtu, 15 November 2003

Tidak ada komentar: